Pelajaran dari Bacotan 2K

adi munazir pengacara

Modernis.co, Buntul Kemumu – 17 April 2019 sudah lewat mari kita sama-sama sampaikan terimakasih secara gagah dan berwibawa buat Bang Efendi Gozali, sosok progresif nan luar biasa. Gagasannya pada tahun 2013 telah menekuk Mahkamah Konstitusi (MK) untuk membuat putusan pada Januari 2014 bahwa rezim pemilu (pilpres dan pileg) dilaksanakan secara serentak dimulai pada 2019 dan seterusnya di Negara yang bukan Kesatuan ini (Indonesia).

Inilah pemilihan paling ruwet, paling brutal, paling kompleks karena Indonesia masih belum memiliki preseden dalam pelaksanaannya. Akibatnya, KPU,Bawaslu termasuk pemerintah harus menghadapi cobaan berat pra, saat dan pasca pemilu dilakukan. Kicauan Kritik terbuka dialamatkan kepada pihak-pihak terkait khususnya penyelenggara yang terus-terusan dihantam dengan isu-isu yang beragam.

Selain itu adanya dominasi narasi kecebong dan kampret (2K) yang buta matanya sehingga menghajar siapapun secara ganas dan tanpa ampun. Dua kelompok yang terbelah ini saling kecam dan tidak jarang berbalas pantun politik yang kadang tak lagi patuh pada sampiran dan isi sebagaimana mestinya.

Meski begitu, saya angkat topi dan kagum kepada 2K itu karena ulah mereka dialektika politik terjadi secara kritis dan dua sisi dengan begitu saya banyak belajar bahwa hidup adalah tentang ‘saling’. Salah satunya adalah saling mengenal untuk saling memahami dan saling mengerti bahwa tetaplah ada manfaat dari sepetak lumpur politik yang dianggap mayoritas sangatlah kotor itu.

Masing-masing kubu merasa menjadi korban dari kubu yang lain, tidak jarang saling melecehkan dan berujung pada serangan personal yang cukup vulgar. Kewarasan akal sehat menjadi nomor dua dan adu bacot menjadi kepakaran utama yang terus dilakukan. Tujuannya, tidak lain untuk mempertahankan zona pagar kekuasaan agar tak rubuh diterpa angin politik ‘tetangga sebelah’.

Cara mudah memeriksa bagaimana gerombolan 2K itu bertarung sangatlah mudah. Cukup instal dan aktifkan aplikasi Twitter di masing masing smartphone anda. Lihatlah bagaimana pintar dan kuasanya seluruh penduduk Twitter itu adu bacot, memainkan diksi kata dalam kalimat, mempertahankan argumentasi politik masing-masing dalam rangka menunjukkan dukungan untuk kepentingan sang junjungan.

Saya sendiri berkenalan dengan Twitter sejak 2012 silam, medsos buatan Jack Dorsey ini berpengaruh dan adiktif sekali serta memiliki jangkauan yang sangat luas. Bagaimana tidak, kita dengan mudah membaca fikiran para pembesar negeri, tokoh-tokoh yang kita suka maupun yang kita benci lewat cuitan atau thread yang mereka buat.

Sudah pasti tanpa sekat (boardless), segala isu viralitas (trending topic) mudah untuk ditelusuri secara cepat dan akurat. Jadi sangatlah rugi jika anda seorang sarjana atau masih menjadi mahasiswa basi di kampus tidak terlibat dalam lalu lintas diskusi dunia Twitter. Ojo lali skripsianmu digarapen, Le!

Untuk tema-tema percakapan sangatlah lengkap dan sudah barang tentu banjir perspektif. Tapi saya sendiri lebih suka mengikuti jalur isu-isu politik yang nir etika dan bahkan saling mangsa itu. Inilah alasan sehingga banyak yang tak suka politik tapi memang bukan tugas kita untuk selalu berdiri di jalur untuk disukai banyak orang. Saya mengamini ucapan Buya Syafi’i (salah satu tokoh favorit saya) bahwa ‘politik kita tuna adab’. Tetapi bukan tidak mungkin kita mengembalikan kembali kegembiraan dan kemanusiaan dalam berpolitik.

Urusan dukung-mendukung dalam sebuah pilihan politik memang harus jelas dan bermuara. Jika anda masih dalam posisi kabur (netral) maka andalah bagian dari golongan safety player (pemain aman) yang ragu berhadapan secara kesatria atas konsekuensi sebuah pilihan. Khususnya, pilpres 2019 yang bersejarah ini.

Dalam urusan bacot politik, ada banyak tokoh dari masing masing kubu 2K yang mudah kita temukan. Mulai dari yang kelasnya rendahan sampai yang ketinggian. Mereka sebenernya adalah orang-orang hebat yang perlu ditiru hal-hal yang baik. Salah satunya, cara-cara mereka meluapkan argumentasi lewat satire, sarkasme dan metafor dalam pilihan diksi dan retorika yang beragam.

Meski kita berbeda pilihan dalam pertarungan akbar pilpres 2019 ini, mari mengingat kembali bahasa sodara kita dari Timur bahwa katong basudara (kita adalah sodara). Selanjutnya rapatkan barisan kembali untuk menjadi oposisi bermartabat, toh, konstitusi negara demokratis mengizinkan hal itu dilakukan.

*Oleh : Adi Munazir, SH (Penikmat Pinalti Politik)

Redaksi
Redaksi

Mari narasikan pikiran-pikiran anda via website kami!

Related posts

Leave a Comment